Oleh
HARIS FIRDAUS
Di tengah masalah pengelolaan sampah di DI Yogyakarta, muncul sejumlah gerakan yang mendorong masyarakat lebih bijak mengelola sampah. Semangat gerakan itu untuk memberi kesempatan kedua bagi sampah agar bernilai guna.
Kesadaran mengelola sampah dari rumah terus dikampanyekan menjadi gaya hidup warga urban, termasuk di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Selain bernilai rupiah, setiap orang diajak memberi kesempatan kedua bagi sampah karena mungkin masih bermanfaat.
Upaya mengajak warga memilah sampah juga dilakukan PT Wahana Anugerah Energi melalui usaha rintisan dengan aplikasi bernama Rapel atau Rakyat Peduli Lingkungan. Rapel adalah aplikasi ponsel untuk menjual sampah anorganik yang telah dipilah.
Head Area Rapel Yogyakarta Yudho Indardjo menjelaskan, aplikasi Rapel diluncurkan pada April 2019 di Yogyakarta. Melalui aplikasi itu, warga bisa menjual sampah anorganik dengan mudah. Setelah mengunduh Rapel di ponsel, warga tinggal memasukkan jenis sampah dan beratnya ke dalam aplikasi tersebut.
Sesudah itu, sampah akan diambil kolektor atau pengumpul sampah yang menjadi mitra Rapel. ”Sampah itu akan dibeli kolektor, bukan diambil cuma-cuma,” ujar Yudho.
Sampah-sampah yang dikumpulkan kolektor kemudian dibeli Rapel dengan harga lebih tinggi sehingga kolektor dapat untung. Sampah-sampah itu dibawa ke gudang Rapel untuk dipilah lagi, lalu dijual ke industri daur ulang. Selain membeli sampah dari warga, Rapel juga mengambil sampah dari perusahaan, sekolah, dan tempat ibadah.
Rapel memiliki puluhan kolektor dan ribuan pengguna di DIY dengan volume sampah yang dikelola sekitar 26 ton dalam sebulan. Selain DIY, Rapel juga beroperasi di sejumlah daerah lain, seperti Banyumas, Surakarta, Semarang, dan Tangerang.
Salah seorang kolektor Rapel, Florentina Ina Rimawati (50), mengaku bergabung karena resah melihat minimnya minat warga kampungnya di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Sleman, untuk mengelola sampah dengan baik. Sebelum jadi kolektor, Ina sempat mengajak sejumlah tetangganya mendirikan bank sampah, tetapi gagal karena sedikit yang mendukung.
”Akhirnya saya jadi kolektor di Rapel dan mengajak orang-orang di sini untuk memilah sampah, lalu sampahnya saya beli. Sekarang banyak tetangga yang jual sampah ke saya,” tutur Ina.
Dalam sebulan, Ina bisa menyetorkan ratusan kilogram (kg) sampah anorganik ke Rapel. Pada Kamis (17/2/2022), misalnya, sejumlah karyawan Rapel mengambil puluhan jenis sampah anorganik di rumah Ina, termasuk 69 kg kardus, 60 kg kertas arsip, dan 55 kg dupleks. Namun, Ina tak risau soal keuntungan.
”Saya enggak terlalu mikir (keuntungan) karena tujuan pertamanya untuk membantu masyarakat mengelola sampah,” ujar perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai guru pendidikan anak usia dini itu.
Ketua Jejaring Pengelola Sampah Mandiri DIY Bambang Suwerda menyatakan, aktivitas memilah sampah di DIY harus terus didorong untuk mengurangi sampah yang dibuang ke TPA. Apalagi, beberapa tahun terakhir, DIY berada dalam bayang-bayang darurat sampah karena Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan di Kabupaten Bantul sudah overload atau kelebihan beban.
Padahal, TPST Piyungan menjadi tempat pembuangan sebagian besar sampah di DIY. “Masyarakat harus terus didorong memilah sampah. Jangan sampai semua sampah dibawa ke TPA,” ujar Bambang.
Terlebih, sebagai kota wisata, beban sampah di Yogyakarta kian berat. Tumbuhnya gerakan swadaya kelola sampah rumah tangga setidaknya bisa mengurangi persoalan sampah kota.
Source: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2022/02/21/senang-dan-cuan-dari-memilah-sampah-di-yogyakarta